Pencari Ilmu official website | Members area : Register | Sign in

Sahkah Shalat Orang yang Bertato?

Senin, 19 November 2012


Sahkah Shalat Orang yang Bertato?

Pertanyaan:
Kalau orang yang bertato kemudian sudah betul-betul insaf, shalatnya diterima atau tidak?

Dari: Isaac

Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,


Pertama, menggunakan tato hukumya haram, dan terdapat larangan khusus dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الوَاشِمَةَ وَالمُسْتَوْشِمَةَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mentato dan yang minta diberi tato.” (HR. Bukhari no. 5347).

Karena itu, kewajiban orang yang memiliki tato di tubuhnya, dia harus bertaubat kepada Allah, memohon ampunan dan menyesali perbuatannya. Kemudian berusaha menghilangkan tato yang menempel di badannya, selama tidak memberatkan dirinya. Namun jika upaya menghilangkan tato ini membahayakan dirinya atau terlalu memberatkan dirinya maka cukup bertaubat dengan penuh penyesalan dan insya Allah shalatnya sah.

An-Nawawi menukil keterangan Imam ar-Rafi’i:

فى تعليق الفرا أَنَّهُ يُزَالُ الْوَشْمُ بِالْعِلَاجِ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ إلَّا بِالْجُرْحِ لَا يُجْرَحُ وَلَا إثْمَ عَلَيْهِ بعد التوبة

“Dalam Ta’liq al-Farra’ dinyatakan: tato harus dihilangkan dengan diobati. Jika tidak mungkin dihilangkan kecuali harus dilukai, maka tidak perlu dilukai, dan tidak ada dosa setelah bertaubat.” (al-Majmu’, 3:139).

(Disadur dari Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 28110)

Dalam Fatawa yang lain, dinyatakan:

فلا يخفى عليك أن وضع الوشم على الجسد ذنب عظيم، ومع ذلك لا تأثير له على صحة الصلاة

Tidak diragukan bahwa mentato badan adalah dosa besar, meskipun demikian hal itu tidak ada pengaruhnya dengan keabsahan shalat.

(Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, no. 18959)

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
 

Sumber : http://faisalchoir.blogspot.com/2012/11/sahkah-shalatnya-orang-bertato.html

pasukan Zionis bombardir masjid di Gaza



GAZA CITY, PALESTINA (voa-islam.com) - Aksi biadab Israel saat melakukan bombardir brutal terbaru ke Jalur Gaza tidak hanya menargetkan warga sipil, namun juga masjid-masjid serta rumah-rumah ibadah lain, bahkan kuburan.
Menteri urusan agama di Gaza mengatakan pada Senin (19/11/2012) bahwa Israel telah menghancurkan lebih dari 25 masjid dalam enam hari bombardir brutal terhadap wilayah terkepung tersebut.

"Penjajah (Israel) dalam agresi mereka tidak hanya melakukan kejahatan terhadap warga sipil, seperti yang terjadi pada keluarga Salah, al-Dalou, dan keluarga Azzam, namun mereka juga menargetkan masjid-masjid, kuburan, dan rumah-rumah ibadah," kata Ismail Radwan dalam sebuah konferensi pers di luar Al masjid-Abbas.

"Musuh langsung menargetkan pemakaman Sheikh Shaban, pemakaman darurat, selain pemakaman Mahatta, Tal Zatar, dan Suheil Bani  yang menyebabkan jenazah dari orang yang meninggal dan para syuhada berhamburan.

"Mereka juga menargetkan dan menghancurkan sepenuhnya masjid Ribat di Gaza City dan masjid Al-Rahman di pusat Jalur Gaza."

Radwan meminta para ulama dan imam di Palestina dan seluruh dunia untuk berdoa bagi orang-orang yang terluka dan para pejuang Palestina.

Dia menyerukan kepada imam besar Al-Azhar, Syaikh Ahmad al-Tayeb, dan semua rekan-rekannya untuk mengunjungi Jalur Gaza dan berdiri mendukung rakyat Palestina.

Menteri agama tersebut mendesak masyarakat internasional dan organisasi hak asasi manusia untuk mengadili para pemimpin Israel atas kejahatan perang dan menyerukan kepada Liga Arab dan Organisasi Kerjasama Islam untuk memenuhi kewajiban mereka dan mendukung Palestina dalam melestarikan tempat-tempat suci mereka. (by/mn)

Sumber :  Voa Islam

Etika Niat


Orang Muslim beriman kepada urgensi niat bagi seluruh amal perbuatan agamanya dan dunianya. Sebab, seluruh amal perbuatan menjadi terhormat dengannya, kuat-lemahnya tergantung padanya, dan baik-buruknya terkait dengannya.

Keimanan orang Muslim kepada urgensi niat bagi seluruh amal perbuatan, dan kewajiban perbaikan niat itu, pertama, berdasarkan firman-firman Allah Ta‘ala, misalnya,
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; dalam (menjalankan) agama dengan lurus." (Al-Bayyinah: 5).

"Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama’." (Az-Zumar: 11).

Kedua, berdasarkan sabda-sabda Rasulullah saw., misalnya,
"Sesungguhnya amal perbuatan itu harus dengan niat, dan setiap orang itu tergantung pada niatnya."(Muttafaq Alaih).
“Tidak melihat kepada bentuk fisik kalian, dan harta kalian, namun melihat kepada hati kalian, dan amal perbuatan kalian.” (Muttafaq Alaih).

Penglihatan kepada hati berarti penglihatan kepada niat, sebab niat adalah motivasi amal perbuatan. Sabda Rasulullah saw., "Barangsiapa ingin kepada kebaikan, dan ia tidak mengamalkannya, maka ditulis satu kebaikan untuknya." (Muttafaq Alaih).

Hanya karena keinginan yang benar saja, amal perbuatan menjadi baik kemudian mendapatkan pahala. Ini tidak lain karena keutamaan niat yang baik. Sabda Rasulullah saw.,
"Manusia terbagi ke dalam empat kelompok: (Pertama) orang yang diberi ilmu dan harta oleh Allah kemudian ia mengamalkan ilmunya pada hartanya ia menginfakkannya di jalannya. (Kedua) orang yang diberi ilmu oleh Allah, tapi tidak diberi harta, kemudian ia berkata, 'Seandainya aku mempunyai seperti yang dipunyai dia (orang pertama,), aku pasti berbuat seperti yang ia perbuat.' Rasulullah saw. bersabda, “Pahalanya kedua orang tersebut sama." (Ketia,) orang yang diberi harta oleh Allah, tapi tidak diberi ilmu, ia tidak bisa mengatur hartanya dan menginfakkannya tidak di jalannya. (Keempat) orang yang tidak diberi ilmu dan harta oleh Allah, kemudian ia berkata, 'Seandainya aku mempunyai apa yang dimiliki orang tersebut (orang ketiga), aku pasti berbuat seperti yang ia perbuat'. Rasulullah SAW bersabda, 'Dosa keduanya sama'." (Diriwayatkan lbnu Majah dengan sanad yang baik)

Pada hadits di atas, orang yang mempunyai niat yang baik dibalas dengan pahala orang yang mempunyai amal shalih, dan orang yang mempunyai niat yang rusak dibalas dengan dosa orang yang mempunyai amal yang rusak. Sebabnya, tidak lain ialah karena niatnya. Sabda Rasulullah saw. di Tabuk,"Sesungguhnya di Madinah, terdapat orang-orang yang tidak mengarungi lembah, tidak menginjak tanah yang membuat orang kafir marah, tidak berinfak dengan apa pun, dan tidak ditimpa kelaparan, namun mereka sama dengan kita, kendati mereka berada di Madinah." Ditanyakan kepada beliau, “Kenapa begitu, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, "Mereka tidak bisa berangkat jihad karena udzur, kemudian mereka ikut kita dengan niat yang baik." (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Abu Daud).

Niat yang baik itulah yang membuat orang yang tidak bisa perang mendapatkan pahala orang yang berperang, dan orang bukan mujahid mendapat pahala mujahid. Sabda Rasulullah saw., "Jika dua orang Muslim bertemu dengan pedangnya masing-masing, maka pembunuh, dan orang yang terbunuh sama-sama masuk neraka." Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, kalau pembunuh betul, bagaimana dengan orang yang terbunuh?” Rasulullah saw. bersabda, "Karena ia juga ingin membunuh sahabatnya." (Muttafaq Alaih).

Niat yang rusak dan keinginan yang rusak disamakan pada pembunuh yang berhak masuk neraka dan orang yang terbunuh, sebab jika niat orang yang terbunuh itu tidak rusak, ia pasti masuk surga. Sabda Rasulullah saw., "Barangsiapa menikah dengan mahar dan berniat tidak membayarnya, ia pezina. Barangsiapa meminjam dan berniat tidak membayarnya, ia pencuri." (Diriwayatkan Ahmad).

Hanya dengan niat yang rusak, sesuatu yang mubah berubah menjadi sesuatu yang haram, dan sesuatu yang diperbolehkan menjadi sesuatu yang dilarang, serta sesuatu yang tidak ada kesulitan berubah menjadi ada kesulitan di dalamnya. Ini semua menguatkan keyakinan orang Mukmin kepada urgensi niat dan nilainya yang agung.


Oleh karena itu, ia membangun seluruh amal perbuatannya di atas niat yang shalih, dan berusaha keras tidak mengerjakan amalan tanpa niat, atau niat yang tidak benar, sebab niat adalah intisari amal perbuatan dan pilarnya. Baik tidaknya amal perbuatan tergantung pada niatnya. Amal perbuatan tanpa niat menjatuhkan pelakunya ke dalam riya’ dan tercela.

Selain itu, orang Muslim meyakini bahwa niat adalah rukun amal perbuatan dan syaratnya. Ia meyakini bahwa niat tidaklah sekadar dengan lisan, misalnya mengatakan, "Allahumma nawaitu kadza (Ya Allah, aku berniat melakukan amal perbuatan ini)." Dan tidak pula hanya sekedar pembicaraan jiwa. Namun, niat adalah kebangkitan hati kepada amal perbuatan yang baik untuk tujuan mulia mendatangkan manfaat, menolak madharat yang terjadi sekarang, atau mendatang. Niat juga merupakan keinginan yang diarahkan kepada amal perbuatan untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala, atau melaksanakan perintah-Nya.

Ketika orang Muslim meyakini bahwa amal perbuatan yang mubah bisa berubah menjadi ketaatan yang berpahala dengan niat yang baik, dan bahwa ketaatan tanpa niat yang baik berubah menjadi maksiat yang mendatangkan dosa dan hukuman, maka ia tidak berpendapat, bahwa kemaksiatan itu tidak bisa dipengaruhi oleh niat yang baik dan untuk kemudian berubah menjadi ketaatan.

Jadi, orang yang menggunjing orang lain untuk menyenangkan hati orang lain adalah bermaksiat kepada Allah Ta‘ala, berdosa, dan niat yang baik tidak bermanfaat baginya. Orang yang membangun masjid dari uang haram tidak akan diberi pahala. Orang yang menghadiri pesta-pesta dansa (joget), dan cabul, atau membeli kupon undian dengan niat untuk membantu proyek-proyek kebaikan, atau membantu pendanaan jihad, dan lain sebagainya adalah bermaksiat kepada Allah Ta‘ala, berdosa, dan tidak mendapatkan pahala. Orang yang membangun kubah di atas kuburan orang-orang shalih, atau menyembelih hewan qurban untuk mereka, atau bernadzar untuk mereka dengan niat mencintai orang-orang shalih adalah berrnaksiat kepada Allah Ta‘ala, dan berdosa karena perbuatannya tersebut, kendati ia berpendapat bahwa niatnya adalah baik, sebab yang bisa berubah menjadi ketaatan dengan amal shalih ialah amal perbuatan yang boleh dikerjakan, sedang hal-hal haram, ia tidak bisa berubah menjadi ketaatan apa pun alasannya.

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 105-109.

Sumber : http://alislamu.com/etika/91-etika-niat.html

Ilmu dan Kebahagiaan


Ilmu dan Kebahagiaan 
Senin, 17 Maret 2008
Semakin mendekatkan diri pada Allah adalah ciri orang berilmu. Sayang, jika berilmu justru tambah sesat.
(Adian Husaini)

Dalam bukunya, Tasauf Modern, Prof. Hamka pernah menyalin sebuah artikel karya Al-Anisah Mai berjudul ”Kun Sa’idan”. Artikel itu diindonesiakan dengan judul: ”Senangkanlah hatimu!”
Dalam kondisi apa pun, pesan artikel tersebut, maka ”senangkanlah hatimu!” Jangan pernah bersedih. Dalam kondisi apa pun.
Kalau engkau kaya, senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit….
”Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang selalu menimpa orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepada engkau lagi, lantaran kemiskinanmu…”
Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu!
Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacatmu…
Kalau tanah airmu dijajah atau dirimu diperbudak, senangkanlah hatimu! Sebab penjajahan dan perbudakan membuka jalan bagi bangsa yang terjajah atau diri yang diperbudak kepada perjuangan melepaskan diri dari belenggu.”

Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah, yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Tapi, apakah yang dimaksud bahagia? Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka, bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Maka, setelah dia dapat, dia menjadi pecinta harta. Toh, setelah harta melimpah ruah, kebahagiaan itu pun tak kunjung menyinggahinya. Harta yang disangkanya membawa bahagia, justru membuatnya resah. Hidupnya penuh problema. Masalah demi masalah membelitnya. Tak jarang, harta justru membawa bencana. Kadang, harta yang ditumpuk-tumpuk, menjadi ajang konflik antar saudara.
Sebagian orang mengejar kebahagiaan pada diri wanita cantik. Dia menyangka setelah mengawini seorang wanita cantik, maka dia akan bahagia. Tapi, tak lama kemudian, bahtera rumah tangganya kandas. Di depan sorot kamera, tampak mempelai begitu bahagia, bersanding wanita cantik. Namun, kecantikan sering menjadi fitnah dan kemudian membawa bencana. Pujian yang bertabur dari umat manusia tak membuatnya bahagia.
Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab, kekuasaan memang sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Tapi, betapa banyak manusia yang justru hidup merana dalam kegemilangan kekuasaan. Dia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan, setelah kuasa di tangan. Sebelum memegang kuasa, senyuman sering menghiasai bibirnya. Namun, setelah kuasa di dalam genggaman, kesulitan dan keresahan justru menerpanya, tanpa henti.
Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan!
Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan!
Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan!
Orang biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran!
Dan sangkaan-sangkaan lain…
Tapi, sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah terletak pada itu semua. Semua kenikmatan duniawi bisa menjadi tangga yang mengantar kepada kebahagiaan. Semuanya adalah sarana. Bukan bahagia itu sendiri. Lihatlah, betapa banyak pejabat yang hidupnya dibelit dengan penderitaan. Lihat pula, betapa banyak artis terkenal yang hidupnya jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat penenang!
Jika demikian, apakah yang disebut”bahagia” (sa’adah/happiness).
Selama ribuan tahun, para ahli pikir, telah sibuk membincang tentang kebahagiaan. Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan ”happiness” sebagai: ”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.” Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia.
Prof. Naquib al-Attas menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai: “Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.”
Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus, yang selalu berusaha mendorong batu ke atas bukit. Tapi, ketika batu sudah sampai di atas bukit, digelindingkannya kembali batu itu ke bawah. Kemudian, dia dorong lagi, batu itu ke atas. Begitu seterusnya. Tiada pernah berhenti.
Itulah perumpamaan tentang kondisi batin masyarakat Barat yang menganut paham relativisme dan tidak mengenal kebenaran pada satu titik tertentu. Ketika sampai pada satu tahap tertentu, dia kembali menghancurkan dan mencari lagi. Mereka selalu dalam pencarian. Tidak akan pernah puas. Laksana meminum air laut. Jika sudah mendapatkan satu gunung emas, mereka akan mencari lagi gunung emas yang kedua.
Berbeda dengan pandangan tersebut, Prof. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai berikut:
Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.
Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampong halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.
Imam al-Ghazali, seperti dikutip Hamka dalam Tasaud Modern, mengungkapkan: ”Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.”
Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair:
ولست آرى السعادة جمع مال * ولكن التقى لهي السعيد
(Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda;
Tetapi, taqwa akan Allah itulah bahagia
).
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ”ma’rifatullah”, telah mengenal Allah SWT.
Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan…. Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah… Oleh sebab itu tidak ada ma’rifat yang lebih lezat daripada ma’rifatullah.”
Ma’rifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan, bahwa ”Tiada Tuhan selain Allah” (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ”ayat-ayat-Nya”, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Alam semesta ini adalah ”ayat”, tanda-tanda, untuk mengenal Sang Khaliq. Maka, celakalah orang yang tidak mau berpikir tentang alam semesta.
Disamping ayat-ayat kauniyah, Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa ”Tiada tuhan selain Allah”, dan bersaksi bahwa ”Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah SWT adalah Islam.
Risalah kenabian Muhammad saw telah menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya.
Inilah yang disebut sebagai ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati, yang terkait antara dunia dan akhirat. Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta’dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri, dan sebagainya. Tetapi, apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal dan bahagia beribadah kepada Sang Pencipta.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya bahagia dalam keimanan dan keyakinan; yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh setiap keadaan. Dalam kondisi apa pun, hidupnya bahagia, karena dia sudah mengenal Allah, ridha dengan keputusan Allah, dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.
Dalam kondisi apa pun, dalam posisi apa pun, manusia semacam ini akan hidup dalam kebahagiaan. Fa laa khaufun ’alaihim wa laa hum yahzanuun. Hidupnya hanya mengacu kepada Allah, dan tidak terlalu peduli dengan reaksi manusia terhadapnya. Alangkah indah dan bahagianya hidup semacam itu; bahagia dunia dan akhirat.
Karena itu, kita paham, betapa berbahayanya paham relativisme kebenaran yang ditaburkan oleh kaum liberal. Sebab, paham ini menggerus keyakinan seseorang akan kebenaran. Keyakinan adalah harta yang sangat mahal dalam hidup. Dengan keyakinan itulah, kata Iqbal, seorang Ibrahim a.s. rela menceburkan dirinya ke dalam api. Karena itu, kata penyair besar Pakistan ini, hilangnya keyakinan dalam diri seseorang, lebih buruk dari suatu perbudakan.
Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacam itu; hidup dalam keyakinan; mulai dengan mengenal Allah dan ridha menerima keputusan-keputusan-Nya, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita ingin, bahwa kita merasa bahagia dalam menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar.
Mudah-mudahan, Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada sebuah sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. Amin. [Depok, 6 Rabi’ulawwal 1429 H/14 Maret 2008/www.hidayatullah.com]
(Catatan Akhir pekan adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com)

THOLABUL ‘ILMI (MENCARI ILMU)


THOLABUL ‘ILMI (MENCARI ILMU)
oleh:  H. Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Tema kajian kita kali ini akan membahas tentang Tholabul’Ilmi (Mencari Ilmu atau menuntut Ilmu).
Tholabul ‘Ilmi artinya mencari Ilmu karena mengharap ridho dan cinta kepada Allooh سبحانه وتعالى. Perbuatan itu akan menyampaikan seseorang kepada Surga Allooh سبحانه وتعالى.
Namun ada beberapa perkara yang harus kita pahami dengan benar, agar jelas benar tentang hal itu.
  1. Apa yang dimaksud dengan ‘Ilmu.
  2. Apa urgensi menuntut ‘Ilmu.
  3. Apa keutamaan menuntut ‘Ilmu.
  4. Apa cabang dari ‘Ilmu Syar’i.
Itulah beberapa perkara yang harus kita pahami.
1. Apa yang dimaksud dengan ‘Ilmu.
Al ‘Ilmu menurut para ‘Ulama berasal dari kata ‘Alima – Ya’lamu – ‘Ilman.  Maknanya adalah :Ma’rifah wal idrook, dalam bahasa Indonesia: Pengetahuan.
Di Indonesia disebut Ilmu Pengetahuan, lalu seolah-olah diartikan Ilmu yang berseberangan dengan Ilmu Dien (Islam). Lalu dilengkapi sebutannya menjadi : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Padahal sesungguhnya kata “Pengetahuan” itu sendiri adalah pengertian (definisi) secara etimologis (kebahasaan) dari kata “Ilmu”.
Jadi “Ilmu” dalam bahasa Arab, bahasa Indonesianya adalah:  Pengetahuan.
Lalu akhirnya menjadi Ilmu Pengetahuan, yang maknanya bukan Ilmu Dien. Maka kalau ada orang mengatakan Ilmu pengetahuan, maknanya: bukan Ilmu Dien.
Ada juga yang mengartikan, terutama dari kalangan para ‘Ulama Ushul Fiqih, bahwa yang dimaksud dengan “Ilmu” adalah :
إدراك الشيئ على ما هو عليه إدراكا جازما
Artinya:
Pengetahuan tentang sesuatu diatas fakta dan data, secara pasti”.
Itulah  yang disebut ‘Ilmu.
Dengan demikan, kalau kita telusuri, maka yang disebut dengan Jazim (pasti) adalah ‘Ilmu Syar’i.
Sedangkan Ilmu dunia itu tidak pasti. Tentang Ilmu Fisika, Ilmu matematika dll, tidak ada yang pasti. Mungkin pasti, menurut manusia. Padahal kepastian jangan hanya dipandang dari sisi manusia. Yang disebut pasti adalah jika menurut Allooh سبحانه وتعالى pasti.
Yang disebut dengan pasti adalah Ilmu Dien (Islam). Karena yang memastikannya adalah Pencipta (Allooh سبحانه وتعالى), dan dasarnya pasti. Misalnya: Al Qur’an sejak 1428 tahun lalu begitu-begitu saja, tidak ada perubahan. Sampai pada hari Kiamat akan begitu, tidak berubah. Demikian pula Al Hadits, tidak berubah. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sejak 1428 yang lalu telah bersabda, telah menggariskan Sunnah kepada kita, dan sabda beliau :
ولو تركتم سنة يبيكم لضللتم
Artinya:
“Kalau kalian meninggalkan sunnahku ini kalian pasti celaka”.
Seperti yang kita alami pada zaman sekarang, adalah merupakan kepastian yang berdasarkan pada wahyu. Rumusnya: Maksiat pasti mengundang murka Allooh سبحانه وتعالى, atau dengan kata lain: Maksiat pasti mendatangkan petaka.
Dalilnya  adalah sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits, dan Hadits ini sudah disampaikan sejak 1428 tahun lalu.
Hadits:
” عن عمران بن حصين رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : في هذه الأمة خسف ومسخ وقذف إذا ظهرت القينات والمعازف وشربت الخمور”
Artinya:
Dari  Imron Ibnu Husain رضي الله عنهRosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :  “Pada umat ini akan terjadi Khosfun (Tanah ambles, runtuh, longsor), Maskhun (permukaan bumi hancur berantakan), Qodzfun (Allooh lempari dari atas — hujan deras sekali, angin topan, dilempari dengan batu yang berasal dari Sijjil), jika muncul/ nampak nyata budak-budak wanita dan budak-budak laki-laki yang menyanyi”.
Hadits Shohiih diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud,  Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad, dishohiihkan oleh Nashiruddin Al Albaany.
Maksudnya, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jika sudah muncul para penyanyi dari kalangan laki-laki dan perempuan, maka di bumi ini akan terjadi Khosfun (tanah runtuh, longsor), Maskhun (permukaan bumi hancur berantakan) dan Qodzfun (Hujan lebat, angin topan, puting beliung, atau kerikil panas seperti zaman Abrahah yang menyerang Mekkah).
Al qiyan, para ulama antara lain Ibnul ‘Atsiir dalam Kitab An Nihayah fi Ghoriibil Hadits, mengartikan: Laki-laki dan wanita yang menyanyi.
Al ma’azif (jamak), tunggalnya adalah ma’zaf, artinya apa saja yang dipukul, alat musik yang dipukul. Dalam Hadits Shohiihul Bukhoory, bahwa umat ini akan menghalalkan musik. Jadi musik itu hukum asalnya adalah haram.
Atau makna kedua, para ‘ulama mengartikan bahwa Al Ma’azif adalah setiap apa saja yang disebut permainan (sekarang: Game).
Suribat, artinya apa yang diminum. Yang diminum adalah Al Khumur, jamak dari kata Khomrun (Khamer, minuman keras).
Hadits tersebut adalah wahyu, dan itu adalah kepastian dari Allooh سبحانه وتعالى. Lebih pasti daripada matematika. Oleh karena itu, kita sebagai muslim hendaknya melakukan istrospeksi. Bahwa sebenarnya maksiat itu mendatangkan petaka.
Banyak orang mengaku dirinya muslim tetapi ia tidak sadar, lalai, bahwa ia melaku-kan sesuatu yang mungkin itu suatu perbuatan yang olehnya disebutkan: “Tidak mengapa, halal-halal saja”, tetapi ternyata yang demikian telah mengundang murka Allooh سبحانه وتعالى.
Maka bila sekarang kita sudah tahu, kewajiban kita adalah: Hendaknya kita memberanikan diri untuk melaksanakan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Kalau ada orang yang melakukan maksiat, jangan lalu anda mengatakan: “Untuk mencegah ini bukan kewajiban saya, melainkan kewajiban Ustad !”.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengajarkan, siapa saja dari kita yang melihat, menyaksikan kemungkaran diperbuat oleh seseorang, kita harus bangkit semangat untuk mencegah, memberantas yang Munkar. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Artinya:
“Barangsiapa dari kalian yang melihat kemungkaran, maka ingkarilah kemungkaran itu dengan lisan kalau tidak bisa dengan tenaga, dan ingkarilah dengan hati kalau tidak bisa dengan tenaga maupun lisan, dan itu adalah selemah-lemah iman”.
Apakah kita akan lemah terus-menerus? Kapan kita kuat? Untuk kuat perlu latihan. Perlu kerja keras, perlu tega, gigih dan pengorbanan. Karena sebenarnya kalau melakukan perbuatan yang merupakan tuntutan iman, Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan balasan dengan surga.
Kaum Bani Israil yang sudah musnah, mereka itu dikutuk oleh Allooh سبحانه وتعالى karena meninggalkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Begitu pula merupakan Sunatullooh di alam semesta ini, jika manusia senang melakukan kemungkaran, menyalahi apa yang menjadi pedoman Allooh سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya, yang diperintahkan ditinggalkan, yang dilarang bahkan dilakukan, itu berarti manusia telah menentang Allooh سبحانه وتعالى dan mengumbar hawa-nafsunya.
Seperti dikatakan diatas bahwa Ilmu adalah pasti. Disebut pasti karena Ilmu adalah dari Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, itulah Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.  Sedangkan akal manusia tidak pasti. Karena intelektual seseorang itu berbeda dengan orang yang lainnya. Bahkan dari zaman ke zaman berubah. Apalagi ilmu-ilmu yang berkenaan dengan masalah statistik, sosiologi, kultur, yang semakin hari semakin berkembang dan berubah, maka berubah pula lah pola-pikir manusia, demikian pula peradaban manusia berubah. Kalau begitu, manusia akan berubah dan disebut dinamis karena ia selalu beradaptasi dengan apa yang ada di lingkungannya.
Sementara Al Islam adalah statis. Kata Imam Malik:
ما لم يكن يومئذ دينا لا يكون دينا
Artinya:
“Perkara yang tidak pernah merupakan bagian dari syari’at Allooh سبحانه وتعالى pada masa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم hidup, tidak akan dan tidak boleh menjadi bagian dari Dien, sampai kapanpun”.
Berarti statis.  Apa yang kita bahas sekarang harus mendasarkan dari apa yang berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Kalau tidak, maka itu bukan ilmu.
Kata Imam Al ‘Auzaa’i:
العلم ما جاء به أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم فما كان غير ذلك فليس بعلم
Artinya:
Ilmu itu adalah apa saja yang dibawakan para sahabat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.”
Maka apa saja yang tidak (bukan) dibawakan oleh para sahabat, itu bukan ilmu.   (Bahasa kasarnya: Omong kosong).
Yang dibawa oleh para sahabat adalah :
  1. Al Qur’an, karena mereka terima langsung dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
  2. As Sunnah, karena mereka dididik langsung oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, mereka melihat, mendengar, menyaksikan, melaksanakan,  mereka perjuangkan bahkan membela Sunnah tersebut.
  3. Ijma’, ialah apa yang mereka pahami dari Al Qur’an, dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, lalu mereka sepakati sebagai suatu ajaran.   Baik dengan terang-terangan yang lalu disebut Ijmaa’un Shorihun, atau Ijmaa’un Sukutiyun karena sekelompok sahabat mempunyai sikap tertentu lalu sahabat yang lain tidak mengingkarinya.
  4. Ijtihad dan Fatwa para sahabat. Dan yang demikian itu telah ditulis oleh salah satu rujukan Ahlussunnah wal Jamaah, kitabnya disebut Al Muwaththo’, ditulis oleh Imam Malik bin Anas.
Kitab Muwaththo’ adalah rujukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Orang yang tidak merujuk pada Kitab Al Muwaththo’ bisa disebut bukan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kitab-kitab rujukan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :
  1. Shohiih Bukhoory,
  2. Shohiih Muslim,
  3. Sunan Abi Dawud,
  4. Sunan Turmudzi,
  5. Sunan An Nasaa’i,
  6. Sunan Ibnu Majah,
  7. Sunan Ad Darimi,
  8. Musnad Imam Ahmad bin Hambal,
  9. Muwaththo’ Imam Malik.
Itulah yang dibawakan oleh para sahabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Maka bila kita memahaminya, itulah yang disebut Ilmu.
Setelah kita ketahui bahwa Ilmu adalah Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad serta Fatwa para sahabat seperti tersebut diatas, maka kita hendaknya berpegang teguh padanya, dan kalau kita ingin berilmu hendaknya kita pahami dan kita jabarkan serta kita laksanakan.
Urgensi menuntut Ilmu.
Ada empat sebab mengapa kita harus menuntut Ilmu, yaitu:
1. Dengan Ilmu, maka Dien (Islam) dan dunia akan tegak.
Islam akan tegak harus dengan Ilmu. Bagaimana seseorang bisa sholat dengan benar, kalau ia tidak punya Ilmu yang benar. Bagaimana mungkin seseorang akan bisa berperilaku sesuai dengan tuntunan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم kalau ia tidak tahu tentang tuntunan itu. Bagaimana ia akan menikah (berumahtangga) sesuai dengan ajaran Sunnah, kalau ia tidak tahu bagaimana Hukum Nikah sesuai dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Bagaimana mungkin ia akan ber-Muamalah, mencari nafkah dsbnya, dengan halal, kalau ia tidak tahu halal-haram. Bagaimana ia bisa bertetangga dengan baik kalau ia tidak tahu akhlak dan adab bertetangga? Dan semuanya itu ada dalam ajaran Al Islam. Semuanya itu bisa berjalan dengan baik dan tegak bila didasarkan dengan Ilmu.
2.  Ilmu adalah Penangkal paham Imperialisme.
Dahulunya kaum Muslimin tidak pernah dijajah. Ketika kaum Muslimin berpegang teguh pada Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bangsa lain tidak berani sembarangan dengan Kaum Muslimin.
Pada zaman Kholifah ‘Umar bin Khothob رضي الله عنه. yang diutus menemui Panglima dari Persia cukup seorang prajurit Islam. Dan Prajurit itu bisa memberikan ultimatum: “Kami datang kepada anda mengajak anda untuk masuk kepada Al Islam. Kalau anda bersedia. Kalau tidak,Anda harus membayar upeti kepada kaum Muslimin. Kalau tidak mau juga, kami tunggu tiga hari dari sekarang. Kita konfrontasi”.
Begitulah kaum Muslimin ketika itu, berwibawa dihadapan bangsa-bangsa lain. Maka da’wah Islam semakin menyebar ke berbagai penjuru dunia. Sampai ditulis dalam sejarah peradaban manusia, bahwa Islam sempat menguasai dunia.
Zaman sekarang menjadi kebalikannya. Karena kaum Muslimin sudah menjauhi dan melucuti dirinya dari tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Padahal bila manusia beriman, berilmu, bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى,  bergantung dan tawakal kepada Allooh سبحانه وتعالى, membela dan menolong agama Allooh سبحانه وتعالى, maka Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan kepada mereka kejayaan, Allooh سبحانه وتعالى berikan pertolongan. Tetapi begitu mereka semakin jauh dari Allooh سبحانه وتعالى, semakin suka bermaksiat, semakin tergiur dan terpedaya oleh dunia, semakin menjauhi Syari’at Allooh سبحانه وتعالى, maka akan Allooh سبحانه وتعالى datangkan kepada mereka kehancuran, dan juga dihina oleh orang-orang non Islam.  Demikian itu Sunatullooh. Maka kalau kita ingin jaya, kita harus ber-Ilmu. Yaitu Ilmu yang Syar’i, yang membawa manusia dekat dengan Allooh سبحانه وتعالى.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal, kata beliau: “Ilmu adalah takut kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka orang yang tidak takut kepada Allooh سبحانه وتعالى berarti ia tidak berilmu. Walaupun ia kitabnya banyak, hafalannya banyak, terkenal dan kesohor bahwa ia ber-ilmu, kalau ia tidak takut kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka sebenarnya ia bukan ber-ilmu”.
Karena Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya:
Sungguh Kelompok orang dari hamba-Nya yang takut pada Allooh سبحانه وتعالى adalah para ‘Ulama”.
3. Ilmu adalah Proteksi dari Berbagai Ajaran dan Faham yang Sesat danMenyesatkan
Pada zaman Kholifah ‘Umar bin Khoththob رضي الله عنه. hanya karena seorang shobiigh Ibnul‘Asal, ketika bertanya tentang Muhtasyabihat, langsung ia ditumpas oleh beliau. Maka Ahlul Bid’ah tidak ada, tidak berkembang ketika itu.
Bukan berarti pada zaman sahabat tidak ada maksiat dan Bid’ah. Ada, tetapi prosentasenya rendah (sedikit), dan tidak bisa mewarnai masyarakat. Karena masyarakatnya masih kokoh, imannya masih kuat, generasinya masih prima. Setelah generasi itu berlalu, semakin muncul Bid’ah dan maksiat.
Maka ingatlah, bahwa semakin ke-Jahilan menguasai, maka semakin maksiat dan perpecahan subur tumbuh di mana-mana. Itulah yang harus kita takuti, waspadai, apalagi lalu ada ajaran Sufimasuk, diterima oleh orang Indonesia. Sehingga dimana-mana di Indonesia ada kelompok Dzikir, Wirid, amalan-amalan ini-itu. Itu adalah “perkawinan” antara Sufi dan kebatinan.
Misalnya diajarkan, bila seseorang ingin bisa menghilang (tidak kelihatan), bisa berjalan diatas air, agar bisa mendapat rezeki seketika tanpa kerja keras, maka lakukan amalan ini, ini, ini, dan seterusnya. Lalu kalau tidak tercapai, orang itu bisa gila. Lalu kelihatannya menakutkan sekali orang belajar agama itu. Belajar agama bisa menjadi gila, dstnya.
Itulah yang membuat Islam dijadikan traumatis. Karena ternyata Islam membuat orang menjadi gila. Lalu tidak lagi simpati kepada Islam, karena memang caranya yang salah dan sesat.Yang demikian itu diikuti oleh banyak orang dan semakin berkembang. Karena lemahnya Ilmu.
Ada cara lain lagi, katanya kalau orang ingin masuk surga, ikutilah dia (tokohnya), lalu disuruh menebus tanah sekian hektar, lalu mendapat sertifikat sebagai anggota kelompok mereka, berhak masuk surga, dan seterusnya. Anehnya yang demikian itu justru banyak yang mau mengikutinya. Sehingga kelompok itu menjadi banyak anggotanya, subur, hartanya banyak terkumpul, pengikutnya juga banyak, karena mereka ingin mendapatkan “Sertifikat Surga”.
Itulah ke-Jahilan. Orang yang Jahil (tidak ber-Ilmu), apa yang masuk datang kepada dirinya, ia tidak punya daya tangkal, imunisasinya lemah sekali, sehingga dirinya rentan, mudah sekali virus apa saja masuk pada dirinya. Karena tidak punya Penangkal yang kuat. Karena tidak punya filter (penyaring) yang berupa Ilmu Al Qur’an dan As Sunnah, maka semua yang datang kepada dirinya langsung diterima dan diserapnya. Akhirnya ia bingung sendiri.
Kita sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah tidak boleh bingung, asal kita yakin kepada Allooh سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya, dan memahami Firman Allooh سبحانه وتعالى dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sesuai dengan pemahaman para sahabat (Ijtihad dan Fatwa mereka). Karena Al Qur’an dan Sunnah saja tidak cukup, dalam arti: perlu pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan Hadits. Memang cukup dengan AlQur’an dan Sunnah. Seperti sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
تركت فيكم شيئين لن تضلوا أبدا ما إن استعصمتم بهما
Artinya:
Aku tinggalkan dua perkara, bila kalian berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan pernah sesat selamanya.”
Tetapi untuk zaman sekarang perlu pemahaman yang benar. Bagaimana Al Qur’an yang benar, bagaimana Sunnah yang benar. Metodenya harus dari mereka yang betul-betul faham dan pernah “mencicipi” bagaimana hidup bersama Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Sedangkan kalau hanya berdasarkan perasaan, saya rasa, dstnya, itu bukan Ilmu. “Saya rasa” bukan dalil! “Saya pikir” juga bukan dalil! “Kesepakatan” juga bukan dalil! Kecuali kesepakatan para sahabat, yang merupakan Ijma’, itulah yang boleh. Tetapi “Kesepakatan kita” tidak lah boleh menjadi Ijma’ dan tidak pula boleh menjadi dalil.
Oleh karena itu siapa saja boleh berbicara, tetapi itu boleh ditolak. Tetapi kalau yang disampaikan itu Qolalloohu, Firman Allooh سبحانه وتعالى, dan Qola Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم seperti tersebut diatas, Hadits-Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka itu tidak boleh ditolak. Tidak boleh ada diantara kita yang menolak.
Tetapi ada orang yang bila hendak tidur, disamping tempat tidurnya dipasang lagu-lagu slow, lagu-lagu untuk menina-bobokkan agar bisa tidur. Ia mendengarkan musik sambil tiduran. Ia tidak tahu dan tidak faham bahwa itu merupakan “saham” yang mempercepat turunnya murka Allooh سبحانه وتعالى. Itu Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Mengapa kita harus ber-Ilmu, harus mencari Ilmu, karena kalau Ilmu sudah didapat, kita tidak  mudah terjangkit berbagai “penyakit” hati seperti Syirik, Ghuruur, ‘Ujub, mengikuti hawa-nafsu, Taklid, Ashobiyah, dan sebagainya.
4.  Ilmu adalah Sesuatu yang Tidak Akan Sempurna Sebagai Sesuatu Kewajiban Kecuali dengan Sesuatu Itu,  maka sesuatu itu hukumnya wajib.
Kalimat itu terjemahan dari kata para ‘Ulama:
ما لا يتم به الواجب فهو واجب
Artinya:
Sesuatu apabila tidak dapat sempurna kecuali dengannya maka dia adalah Wajib
Contoh: Sholat lima waktu adalah wajib. Sholat tersebut tidak sah kalau tidak didahului dengan ber-Wudhu. Berarti Wudhu adalah penentu sahnya sholat itu.
Atau orang yang akan melaksanakan sholat itu ber-Wudhu, tetapi Wudhunya tidak benar, maka tidak sah pula Wudhunya. Oleh karena itu, bila ingin sholatnya sah, maka syarat sahnya sholat itu juga harus benar. Syarat wajib sholat, antara lain: Baligh, muslim, itu wajib. Syarat sahnya: Sudah masuk waktu, kalau belum masuk waktu maka tidak sah sholatnya. Oleh karena itu seorang muslim harus tahu kapan waktu-waktu sholat. Itulah Ilmu. Maka memperlajari sholat dan waktu-waktu sholat serta syarat dan rukunnya, hukumnya wajib. Karena akan menentukan sah dan benarnya akan sholatnya itu.
Contoh lain: Sholat harus menghadap Kiblat. Karena kalau tidak, maka tidak sah sholatnya. Maka harus tahu mana arah Kiblat. Kecuali kalau sudah berusaha tetapi tidak tahu arah Kiblat, atau sebab lain yang tidak bisa diatasi, maka boleh menghadap kemana saja, karena Allooh سبحانه وتعالى tahu mengapa tidak melakukan hal itu. Dan seterusnya.
Itulah sebabnya mengapa orang harus mencari (menuntut) Ilmu, di antaranya adalah karena sebab yang empat perkara tersebut diatas.
Keutamaan Menuntut Ilmu.
Haditsnya dari Abu Huroiroh رضي الله عنه, diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة
Artinya:
“Barangsiapa meniti jalan, ia mencari pada jalan itu ilmu (Ilmu Syar’i), maka balasannya adalah Allooh akan mempermudah (dengan sebab Ilmu tadi) jalannya menuju surga”.
Maksudnya,  siapa yang ingin mudah masuk surga maka lakukanlah aktivitas yang disebutTholabul ‘Ilmi (Mencari Ilmu). Mencari ilmu itu tidak terbatas waktu dan usia. Para ‘Ulama zaman dahulu sejak kecil sudah dihadirkan dalam Majlis Ta’lim.  Sebaliknya juga tidak ada istilah terlambat dalam menuntut Ilmu. Bahkan banyak ‘Ulama yang baru mulai sadar untuk menuntut Ilmu setelah ia berusia 40 tahun. Ia berjuang menuntut Ilmu dan akhirnya menjadi seorang yang‘Alim (ber-Ilmu).
Yang dimaksud Ilmu dalam hal ini adalah Ilmu Allooh سبحانه وتعالى. Tentang Ilmu Syar’i dan cabang-cabangnya akan diterangkan pada lain waktu. Mudah-mudahan kita akan selalu bergairah dan nyata beramal, hadir di Majlis Ta’lim, tidak sia-sia.  Semua itu akan dibalas oleh Allooh سبحانه وتعالى yaitu akan masuk surga. Bahkan kalau saja ada orang ditakdirkan meninggal ketika menuntut Ilmu, maka orang tersebut tergolong orang yang mendapatkan Khusnul Khootimah.
Tanya-Jawab
Pertanyaan:
Mengenai definisi “Ilmu” saat ini kita telah termakan oleh pengertian Ilmu menurut Ilmu Pengetahuan dunia, yang dikatakan sebagai ilmu pengetahuan modern?
Sedangkan kalau kita melihat arti Ilmu dari Imam Al Auzaa’i ternyata adalah sebagaimana diterangkan diatas. Apakah Ilmu sebagaimana kita sebut sehari-hari ini tidak termasuk Ilmu, atau bagaimana?
Jawaban:
Ilmu yang biasa kita sebut sehari-hari, yang bukan Ilmu dari Qolalloohu dan Qola Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, adalah juga Ilmu. Tetapi kata para ‘Ulama bahwa Ilmu ada yang mutlak, yaitu Ilmu Syar’i. Sedangkan yang biasa kita sebut sehari-hari sebagai Ilmu tenyata adalah Ilmu Muqoyat, misalnya Ilmu Hayat (Biologi). Tetapi ada Ilmu Al Hayat, tidak sekedar sebagai Ilmu. Kata para ‘Ulama, “Kalau engkau temukan kata ‘Al ‘Ilmu’ dalam Al Qur’an atau dalam Hadits-hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka yang dimaksudkan adalah Al ‘Ilmusy Syar’i.”   Tetapi kalau di luar itu, maka harus ada sebutan di belakangnya, ilmu apa.  Misalnya: Ilmu Al Hayat, Ilmu Nafs, ‘Ilmul Hisab,‘Ilmu Fiziqoh, ‘Ilmu Tibb (Kedokteran), dstnya. Semua itu adalah ‘Ilmu Muqoyat.
Dalilnya dari mana? Yang mengatakan demikian adalah Syaikh Al ‘Utsaimiin, dalilnya adalah misalnya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya:
(“Sungguh Kelompok orang dari hamba-Nya yang takut pada Allooh سبحانه وتعالى adalah para ‘Ulama”).
Kalimat “Al ‘Ulama” adalah mutlak. Oleh karena ia orang yang takut kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan itu dalam kategori ‘Ilmu Syar’i. Sedangkan Ilmu tentang duniawi,  misalnya ‘Ulama At Tibb (Ulama Kedokteran), Ulama Ilmu Managemen, dll, tidak lah disebut dengan Ilmu Syar’i.
Ilmu selain Ilmu Syar’i adalah media dan jembatan seseorang mengabdi dan beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى, bila perkaranya berkesesuaian dengan Syari’at. Sedangkan kalau dengan Ilmu Syar’i, maka orang itu langsung beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Pertanyaan:
Apakah ada Hadits shohiih yang bertentangan dengan Al Qur’an ?
Jawaban :
Tidak ada Hadits shohiih yang bertentangan dengan Al Qur’an. Bahkan ada Kitab khusus yang terdiri dari delapan jilid yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, memberikan hujjah dan pembuktian bahwa Nash yang shohiih dan shoriih tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat. Itu menunjukkan bahwa Hadits tidak ada yang bertentangan dengan Al Qur’an. Dan dengan akal-pun tidak ada yang bertentangan.
Pertanyaan :
Bolehkah seseorang mem-Badal-kan haji ?
Jawaban:
Haditsnya shohiih, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ketika ditanya oleh salah seorang shohaby, ia meminta ijin untuk mem-badal-kan haji ibunya, lalu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bertanya: “Apakah kamu sudah haji?”. Orang itu menjawab: “Sudah ya Rosuulullooh”.
Maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Hajikanlah untuk ibumu”. Artinya boleh mem-badal-kan haji untuk ibunya. Anak terhadap orang tua, boleh mem-badal-kan haji.
Tentang hal ini menurut Fatwa para ‘Ulama boleh seseorang mem-badal-kan haji, jika orang yang mem-badal-kannya memenuhi syarat, antara lain ia sudah melaksanakan ibadah haji. Dan orang tersebut benar-benar harus amanah.
Apakah tidak bertentangan dengan surat An Najm ayat 39? Tidak. Ayat 39: “Bahwa seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, maksudnya adalah: “Bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain dan seseorang tidak akan mendapat manfaat kecuali dengan apa yang telah ia perbuat.”
Haditsnya, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
إن مما يلحق المؤمن من عمله بعد موته
Artinya:
(“Sesungguhnya diantara perkara-perkara ikut terbonceng seorang mu’min dari amalannya, setelah matinya”).
Maksudnya, ada perbuatan manusia yang pahalanya mengalir terus-menerus sampai ia sudah meninggal masih mengalir terus, memberikan manfaat kepada orang yang telah meninggal itu. Itu hasil dari perbuatan semasa hidupnya, hasil amalannya.
Yaitu: Ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak yang sholih, mushaf Al Qur’an yang ia beli dan dibaca orang lain, membangun masjid, membangun rumah untuk musafir, untuk Ibnu sabil, dll. Atau sungai yang dialirkan untuk orang yang membutuhkan air.  Maka semua itu akan memberikan manfaat setelah orang yang beramal itu meninggal.  Dan lain sebagainya masih banyak lagi, ada tujuh macam.
Pertanyaan:
  1. Tentang yang berkenaan dengan Al Qiyani, Al Ma’azif  dan As Sunnah, sekarang banyak acara-acara keagamaan (Islam) yang lalu ditampilkan Qasidah, dengan penampilan penyanyi wanita yang berpakaian seronok,  maka apakah benar bahwa suara wanita itu juga merupakan aurat ?  Dan bagaimana dengan penampilan Qasidahnya yang berlenggang-lenggok itu?
  2. Bagaimana dengan kesenian Marawis? Tari Japin (Orang laki-laki menari bersama orang laki-laki) yang berasal dari Timur Tengah?
  3. Benarkah berpakaian Gamis itu hukumnya Sunnah Rosuul ?
Jawaban:
  1. Secara etimologis (bahasa), Qosidah artinya Bait-bait Syi’ir. Orang yang membaca Syi’ir disebut Sya’ir. Dan membuat untaian bait-bait Syi’ir disebut Qosidah. Itu merupakan kebanggaan orang Arab jaman Jahiliyah. Namanya disebut: Al Mu’allaqotussab‘ah. (Tujuh yang digantungkan di dinding Kabah, zaman Jahiliyah).
Lalu zaman sekarang di Indonesia Qosidah disebut nyanyian Padang Pasir. Bagi yang tahu, bahasa nyanyian-nya bahasa pasar, bukan bahasa yang baik.  Yang sebetulnya semuanya itu musik, nyanyian, hukumnya haram. Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Artinya:
(“Jangan kamu lenggang-lenggokkan suaramu, sehingga akan menaklukkan orang-orang yang dalam hatinya terdapat penyakit” – Surat Al Ahzab).  Maksudnya, Allooh سبحانه وتعالى melarang jangan melantunkan suaramu, nanti orang akan terfitnah.
  1. Marawis, kalau itu berupa Duf (rebana) maka yang seperti itu dibolehkan dalam pesta pernikahan. Tarian, yang tidak menimbulkan gerakan fitnah, maka itupun pernah terjadi ketika Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم masih hidup.
  2. Gamis, berasal dari bahasa Arab: Qomisun, Qomis, artinya baju, kemeja, seperti orang Arab memakainya. Ada beberapa model. Itu semua adalah berkaitan dengan budaya dan situasi alam disana. Dan orang yang mengenakan baju semacam itu, ia harus memakai celana panjang didalamnya.
Dan itu tidak ada hukum Sunnah atau bukan. Yang penting adalah menutupi Aurat.
Sekian kajian kita mudah-mudahan ada manfaatnya.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 2 Shofar 1428 H – 19 Februari 2007

Sumber : http://ustadzrofii.wordpress.com/2010/06/18/tholabul-ilmi-mencari-ilmu/

Categories